Hadirman
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Manado
e-mail: hadirman@iain-manado.ac.id
Dalam beberapa dekade terakhir, studi tentang bahasa dan agama mengalami pergeseran paradigma yang menarik. Para peneliti tidak lagi melihat bahasa keagamaan sekadar alat komunikasi teologis, tetapi sebagai sistem kognitif, budaya, dan sosial yang membentuk cara manusia memahami spiritualitas dan dunia sosialnya. Dalam konteks inilah, linguistik religius menjadi ruang interdisipliner yang mempertemukan linguistik kognitif, antropologi linguistik, dan sosiolinguistik.
Sebagaimana dijelaskan dalam karya Cognitive Linguistics and Religious Language (Richardson, et.al., 2021), pendekatan linguistik kognitif membantu kita memahami bagaimana konsep seperti embodied cognition, agency, dan metaphor analysis bekerja dalam wacana keagamaan. Bahasa dalam konteks iman tidak pernah netral; ia menjadi wadah konseptual yang menghidupkan pengalaman spiritual melalui metafora, simbol, dan performativitas tutur. Pendekatan ini membuka ruang baru untuk memahami bagaimana makna teologis diwujudkan melalui praktik bahasa sehari-hari umat beragama.
Sementara itu, kerangka Cultural Linguistics and religion yang dikembangkan oleh Farzad Sharifian (2021) menegaskan bahwa agama adalah sistem konseptual budaya yang mengatur pandangan hidup, kematian, moralitas, dan nasib. Dalam hal ini, bahasa keagamaan tidak hanya merepresentasikan iman, tetapi juga mentransmisikan nilai-nilai budaya dan cara berpikir kolektif. Perspektif ini memperluas horizon ekolinguistik religius dengan menempatkan agama sebagai sistem kognitif-ekologis yang berfungsi menjaga keseimbangan moral dan spiritual masyarakat.
Kontribusi penting lainnya dalam buku A Companion to Linguistic Anthropology (Duranti, 2016), yang menegaskan bahwa bahasa harus dipahami sebagai praktik sosial yang menegosiasikan identitas, otoritas, dan kekuasaan. Dalam konteks religius, hal ini tampak pada bagaimana identitas spiritual dibentuk melalui ritual, doa, dan diskursus keagamaan. Bahasa agama, dengan demikian, menjadi arena di mana makna transenden dan konteks sosial bertemu.
Menariknya, penelitian Yaeger-Dror & Cieri (2014) memperlihatkan bahwa agama juga dapat berfungsi sebagai variabel sosiolinguistik yang signifikan. Pilihan leksikal, gaya tutur, dan pola fonologis dapat mencerminkan tingkat keterlibatan religius seseorang dan identitas kelompoknya. Dalam masyarakat multifaith, fenomena ini menunjukkan bagaimana interaksi antarumat beragama dapat menghasilkan konvergensi linguistik, memperkaya ekosistem komunikasi lintas iman.
Namun, seperti diingatkan oleh Brubaker (2015) dalam pembahasan mengenai bahasa, agama, dan ketimpangan sosial, pluralisme linguistik dan religius tidak selalu berarti kesetaraan. Bahasa dan agama bisa menjadi sumber dominasi simbolik yang menghasilkan hierarki baru dalam kehidupan sosial. Dari perspektif ekolinguistik religius, hal ini mengandung pesan penting: keseimbangan ekologis dalam kehidupan beragama hanya mungkin tercapai jika praktik kebahasaan juga mencerminkan keadilan, penghargaan terhadap keberagaman, dan kesadaran ekologis spiritual.
Agama dapat memberikan pengaruh yang sangat luas dalam suatu komunitas. Ia dapat memengaruhi seluruh bagian dan aspek kehidupan masyarakat, mulai dari gaya hidup, ilmu pengetahuan, pendidikan, arsitektur, hingga perkawinan, perilaku, dan etika. Sebagai contoh, melalui kekuatan bahasanya yang kuat, agama dapat dengan mudah memantik sebuah revolusi” (Rahimi & Hematiyan, 2012).
Menurut Donovan (1976), bahasa religius adalah bahasa khusus yang digunakan secara terpisah dalam situasi tertentu, seperti bahasa Ibrani bagi umat Yahudi, atau bahasa Arab bagi umat Islam. Pandangan lain menyatakan bahwa bahasa religius ditandai oleh penggunaan kosakata khusus seperti ‘Apocalypse,’ ‘Incarnation,’ dan ‘Revelation.’ Pandangan ini dianggap lebih dapat diterima dibandingkan konsep sebelumnya” (Rahimi & Hematiyan, 2012).
Dari keseluruhan refleksi teoretis ini dapat disimpulkan bahwa linguistik religius bukan sekadar cabang baru dalam ilmu bahasa, tetapi juga jembatan epistemologis antara dunia iman dan ilmu. Ia memandang bahasa bukan hanya sebagai alat pengungkap makna, melainkan sebagai ekosistem simbolik tempat nilai-nilai religius, sosial, dan ekologis hidup berdampingan. Dalam era multikultural dan multiagama seperti saat ini, pendekatan ini membantu kita membangun ekologi makna yang menumbuhkan saling pengertian dan empati lintas iman.
Daftar Pustaka
Brubaker, R. (2015). Linguistic and religious pluralism: Between difference and inequality. Journal of ethnic and migration studies, 41(1), 3-32.
Duranti, A. (Ed.). (2008). A companion to linguistic anthropology. John Wiley & Sons.
Rahimi, A., & Hematiyan, N. (2012, January). Language and religion; linguistic religion or religious language. In Conference paper presented at the 1st Conference on Language Learning & Teaching: An Interdisciplinary Approach (LLT-IA) (pp. 1-13).
Richardson, P., Mueller, C. M., & Pihlaja, S. (2021). Cognitive linguistics and religious language: An introduction. Routledge.
Sharifian, F. (2021). Cultural Linguistics and religion. In Cultural-Linguistic explorations into spirituality, emotionality, and society (pp. 9-22). John Benjamins Publishing Company.
Yaeger‐Dror, M. (2014). Religion as a sociolinguistic variable. Language and Linguistics Compass, 8(11), 577-589.
