Bahasa sebagai Representasi Pikiran dan Tantangan Pelestarian di Era Global

Oleh Hadirman

Bahasa tidak sekadar alat komunikasi; ia merupakan representasi dari pikiran, pengetahuan, dan pengalaman manusia. Tatkala kita berbicara atau menulis, sebenarnya kita sedang menata dan mengaktualisasikan pengetahuan yang tersimpan dalam ingatan. Setiap kata, idiom, atau ungkapan dalam bahasa lokal tidak hanya membawa makna literal, tetapi juga menyimpan nilai-nilai budaya, filosofi hidup, dan cara pandang masyarakat terhadap lingkungan dan sesama.

Sebagai penutur asli bahasa Muna, saya merasakan bagaimana bahasa daerah mencerminkan identitas etnik dan cara berpikir masyarakat di Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara. Bahasa Muna dengan kosakata yang kaya, terikat pada praktik keseharian, ritual adat, dan filosofi lokal, menawarkan cara berpikir yang mengikuti struktur dan makna bahasa Muna tentang hubungan manusia dengan alam dan sesama. Ungkapan tradisional yang mengatur perilaku sosial, norma gotong-royong, dan kesadaran ekologis tertanam dalam kosakata sehari-hari dan tata bahasa masyarakat Muna.

Ironisnya, saat saya mengajar bahasa Indonesia di IAIN Manado, salah satu pertanyaan pertama saya kepada mahasiswa adalah: “Apakah Anda menguasai bahasa daerah Anda secara baik?” Mayoritas mahasiswa menjawab tidak. Pengetahuan mereka terhadap bahasa daerah seringkali hanya terbatas pada kosakata sehari-hari, tanpa memahami konteks budaya yang mendasarinya. Kondisi ini mencerminkan tergerusnya kemampuan berbahasa lokal dan sekaligus memudaranya struktur pemikiran budaya yang tertanam dalam bahasa tersebut.

Menurut Insani dan Ridha (2025), bahasa nasional dan asing dalam berbagai aspek kehidupan telah menggeser peran bahasa daerah, khususnya di kalangan generasi muda, yang berpotensi menyebabkan punahnya bahasa-bahasa lokal. Salam dan Hunava (2024) menegaskan bahwa banyak bahasa daerah kini berada di ambang kepunahan, dan diperlukan strategi efektif untuk memperkenalkan kembali bahasa daerah kepada generasi muda. Rhamadona dan Zahara (2025) menambahkan bahwa pergeseran ini dipicu oleh kecenderungan generasi muda beralih ke bahasa nasional atau bahasa global, terutama dalam konteks pendidikan dan media digital.

Kekhawatiran terhadap kepunahan bahasa lokal juga tercatat dalam studi Ely (2021), yang menekankan pentingnya penguasaan bahasa ibu agar generasi muda tetap memiliki akses terhadap warisan budaya dan intelektual masyarakat. Ningsih dan Puteri (2021) menunjukkan bahwa penguatan penggunaan bahasa daerah di kalangan remaja merupakan langkah penting untuk mengantisipasi kepunahan bahasa. Ashar dan Handayani (2024) menambahkan bahwa menurunnya penggunaan bahasa daerah di rumah dan lingkungan sehari-hari dapat menghambat pelestarian identitas budaya generasi muda.

Selain itu, Sembiring dan Lestari (2024) menekankan bahwa globalisasi dan dominasi bahasa internasional semakin mengurangi penggunaan bahasa daerah, terutama di kalangan generasi muda. Murtafi’ah dan Bariah (2025) menegaskan relevansi bahasa daerah dalam membangun identitas nasional dan pendidikan karakter; generasi muda yang tidak fasih dalam bahasa daerah akan kehilangan koneksi budaya yang penting. Fajria et al. (2024) juga menyoroti pentingnya peran generasi muda dalam melestarikan tradisi dan bahasa lokal agar budaya tetap hidup dan berkelanjutan.

Dalam konteks ini, pengalaman saya mengajar menunjukkan bahwa mahasiswa yang diajak merefleksikan bahasa lokal tidak hanya belajar kosakata atau struktur bahasa, tetapi juga menangkap cara berpikir yang melekat pada bahasa tersebut. Mereka mulai memahami nilai kearifan lokal, filosofi hidup etniknya, dan hubungan manusia dengan alam secara lebih mendalam. Pembelajaran Indonesia yang diintergrasikan dengan bahasa lokal menjadi sarana menumbuhkan kesadaran ekologis, sosial, dan budaya, sekaligus menjaga identitas etnik dan warisan intelektual masyarakat.

Dengan demikian, bahasa lokal adalah jembatan antara generasi, pengalaman, dan pengetahuan masyarakat. Menyadari nilai strategis bahasa lokal sebagai representasi pikiran, pendidikan modern harus mampu mengintegrasikan bahasa daerah dalam proses pembelajaran, tidak hanya sebagai materi bahasa, tetapi sebagai media pengembangan wawasan, identitas, dan kesadaran ekologis. Kegagalan menjaga bahasa lokal berarti kehilangan eksistensinta. Pada aspek lainnya, keberhasilan pelestariannya akan menjadi fondasi bagi generasi muda untuk memahami akar budaya, berpikir kritis, dan mempraktikkan kearifan lokal dalam kehidupan sehari-hari.

Daftar Pustaka              

Ashar, D., & Handayani, R. (2024). PELESTARIAN BAHASA DAERAH UNTUK MELESTARIKAN IDENTITAS DI GENERASI MUDA. Basaya: Jurnal Bahasa, Sastra dan Budaya1(2), 40-43.

Ely, I. (2021). Punahnya Penggunaan Bahasa Daerah Di Kalangan Remaja (Studi Kasus di Desa Asilulu Kecamatan Leihitu Kabupaten Maluku Tengah (Doctoral dissertation, IAIN Ambon).

Fajria, N., Sari, S. M., Kasmini, L., & Syarfuni, S. (2024, December). PERAN GENERASI MUDA DALAM MELESTARIKAN TRADISI DAN BAHASA ACEH. In Seminar Nasional Pendidikan, Teknologi, dan Kesehatan (TEKAD) (Vol. 2, No. 1).

Insani, N. N., & Ridha, M. R. (2025). Ancaman Pergeseran Bahasa Daerah Dan Dampaknya Terhadap Keberlanjutan Warisan Budaya Di Era Global. Menulis: Jurnal Penelitian Nusantara1(5), 91-96.

Murtafi’ah, W., & Bariah, S. K. (2025). Peran Bahasa Daerah dalam Identitas Nasional: Masihkah Relevan di Era Globalisasi?. Journal of Advance in Language, Literature, and Education1(1), 12-16.

Ningsih, S., & Puteri, J. (2021). Penguatan Penggunaan Bahasa Daerah Pada Generasi Muda Di Kelurahan Bintarore Kecamatan Ujung Bulu Kabupaten Bulukumba. JCS3(1).

Rhamadona, F., & Zahara, A. (2025). ANCAMAN KEPUNAHAN BAHASA DAERAH DI ERA DIGITAL. Basaya: Jurnal Bahasa, Sastra dan Budaya2(1), 99-102.

Salam, L. F., & Hunava, N. (2024). MENJAGA BAHASA, MERAWAT BANGSA: STRATEGI PELESTARIAN BAHASA DAERAH. Basaya: Jurnal Bahasa, Sastra dan Budaya1(1), 18-23.

Sembiring, R. P. B., & Lestari, F. A. (2024). REVITALISASI BAHASA DAERAH DALAM ERA GLOBALISASI ANTARA PELESTARIAN DAN MODERNISASI. Basaya: Jurnal Bahasa, Sastra dan Budaya1(1), 24-29.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top