Oleh: Hadirman
Pendahuluan
Tinutuan “bubur tradisional khas Manado”, sebagai hidangan kuliner lokal dan simbol interaksi budaya, bahasa, dan ekologi dalam kehidupan masyarakat Minahasa. Keberadaannya mencerminkan bagaimana bahasa, makanan, dan nilai-nilai lokal berinteraksi dan mempertahankan identitas komunitas di tengah arus globalisasi (Purba & Langi, 2024). Dari perspektif ekolinguistik, kosakata yang muncul dalam proses pembuatan tinutuan—seperti daun gedi, sambiki (labu kuning), ubi kayu, dan istilah lokal lain—menggambarkan hubungan antara manusia, tanaman lokal, dan pengetahuan tradisional yang diwariskan secara lisan.
Kebiasaan makan bersama tinutuan menegaskan nilai kerjasama, solidaritas, dan identitas kultural, di mana bahasa menjadi sarana mempertahankan memori kolektif tentang sumber daya lokal dan cara pengolahannya (Rattu, 2002; Akbar & Koagouw, 2021). Dengan kata lain, tinutuan bukan hanya makanan, tetapi representasi linguistik dari kearifan lokal dan adaptasi ekologis masyarakat Manado terhadap lingkungan sekitar.
Ekolinguistik dan Kosakata Tinutuan
Ekolinguistik menekankan hubungan timbal balik antara bahasa, masyarakat, dan lingkungan. Dalam konteks tinutuan, kosakata tradisional tidak hanya merujuk pada bahan makanan, tetapi juga praktik budaya, ritual, dan teknik memasak. Misalnya, istilah lokal gedi, sambiki, dan sebagainyadalam bahasa Minahasa, menandakan pengetahuan botani lokal yang tertanam dalam bahasa sehari-hari . Proses pembuatan tinutuan juga menggunakan bahasa sebagai instruksi kolektif, dari pemilihan bahan hingga penyajian, yang menunjukkan bahwa bahasa dan makanan berkaitan sebagai penanda identitas lokal (Purba & Langi, 2024).
Kearifan Lokal dalam Praktik Kuliner
Tinutuan juga merupakan perwujudan kearifan lokal. Praktik makan bersama tinutuan, yang biasanya dilakukan dalam lingkup keluarga atau komunitas tertentu, merefleksikan nilai kerjasama, gotong royong, dan solidaritas. Menurut Langi (2021), tinutuan menjadi simbol identitas multikultural masyarakat Manado dan menegaskan prinsip ekonomi lokal dalam pola makan sehari-hari. Selain itu, Tinutuan menjadi salah satu ikon kota Manado. Makanan tradisional dapat menjadi simbol budaya perkotaan dan identitas daerah (Akbar & Koagouw, 2021; Towoliu et al., 2021).
Praktik kuliner ini mengajarkan generasi muda tentang manajemen bahan makanan lokal, pemeliharaan lingkungan, dan gizi seimbang. Misalnya, penggunaan sayuran lokal seperti gedi, labu kuning, dan bayam, tidak hanya menyediakan nutrisi, tetapi juga memperkenalkan siswa pada agrobiodiversitas lokal yang perlu dilestarikan.
Strategi Pelestarian
Untuk memastikan keberlanjutan tinutuan, beberapa strategi dapat diterapkan:
- Pendokumentasian kosakata lokal dan resep tradisional, termasuk dalam bahasa pengantar formal dan digital, sehingga generasi muda tetap mengenal istilah lokal dan praktik memasak.
- Integrasi tinutuan dalam kurikulum pendidikan lokal, misalnya dalam mata pelajaran antropologi, gizi, atau bahasa daerah, untuk memperkuat pemahaman ekolinguistik (Andriana et al., 2025).
- Pemanfaatan media digital dan vlog untuk mempromosikan tinutuan sebagai ikon budaya kota dan sarana edukasi multikultural (Akbar & Koagouw, 2021).
- Pelatihan keamanan pangan bagi siswa dan penjual tinutuan, agar praktik tradisional tetap aman dan higienis (Purba & Langi, 2024).
Simpulan
Tinutuan merupakan perwujudan ekolinguistik dan kearifan lokal Manado, yang mencerminkan hubungan antara bahasa, makanan, dan budaya masyarakat. Keberadaannya tidak hanya mendukung kesehatan dan gizi masyarakat, melainkan memperkuat identitas multikultural dan nilai sosial. Dalam era globalisasi, tinutuan menghadapi tantangan homogenisasi budaya, sehingga pendokumentasian kosakata, edukasi praktis, dan promosi digital menjadi strategi penting untuk pelestariannya.
DAFTAR PUSTAKA
Rattu, A. B. (2002). Trimatra: manusia, kebudayaan, bahasa. Manado: Universitas Negeri Manado.
Akbar, A. M., Koagouw, F. V. A., & Kalangi, J. S. (2021). REPRESENTASI KEARIFAN LOKAL PADA VLOG MANADO FIESTA VIRTUAL FESTIVAL 2020. ACTA DIURNA KOMUNIKASI, 3(4).
Andriana, W. D., Suyatno, S., & Indrawati, D. (2025). *Gastronomi Nusantara sebagai Strategi Pengenalan dan Pelestarian Budaya Indonesia pada Pemelajar BIPA. Lingua Rima: Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra.
Arisman, A. (2004). Gizi dan Pangan. Jakarta: Bumi Aksara.
Damayanti, E., & Ambarwati, A. (2024). Representasi Lumbung Gastronomi Jawa dalam Cerpen dan Dongeng Minuman Nusantara Karya Suyitman. Indonesian Language Education and Literature, 9(2), 355-373.
Langi, G. K. (2021). Dampak sosial-ekonomi dalam kebiasaan makan kuliner tinutuan pada masyarakat multikultural di Kota Manado. Jurnal JINNSA (Jurnal Interdipliner Sosiologi Agama), 1(2), 134-153.
Muslim, A. (2016). Kitorang Samua Basudara: Bijak Bestari di Bilik Harmoni. Harmoni, 15(2), 109-122.
Purba, Rudolf B., and Grace KL Langi. “TINUTUAN IN THE EATING PATTERN OF THE STUDENTS OF THE STATE SENIOR HIGH SCHOOL 9 MANADO, NORTH SULAWES.” PROCEEDING Manado Health Polytechnic 1st International Conference ISSN: 2599-2031. Vol. 1. No. 1. 2017.
Santoso, A. (2006). Keamanan Pangan dan Higienitas. Jakarta: Penerbit XYZ.
Towoliu, B. I., Sangari, F., & Permana, D. E. (2021). Hak Cipta” Strategi Pengembangan Pusat Kota Manado Sebagai Urban Heritage Tourism”. HKI.
