Transformasi Tradisi Lisan Kabhanti Muna di Tengah Perubahan Sosial-Ekologis

Oleh: Hadirman

1. Kabhanti dan Jejak Ekologi dalam Tradisi Lisan Muna

Tradisi lisan kabhanti bagi masyarakat Muna bukan sekadar bentuk hiburan, tetapi juga ruang pengetahuan, media pendidikan moral, dan ekspresi identitas ekologis masyarakatnya. Dalam konteks antropologis, kabhanti menjadi wadah yang menampung ingatan kolektif masyarakat agraris yang hidup harmonis dengan alam—gunung, hutan, sawah, dan ladang menjadi sumber inspirasi dalam penciptaan narasi dan metafora lirik kabhanti.

Sebagaimana dikemukakan Albert B. Lord (1960) dalam teorinya mengenai formula tradisi lisan, karya seperti kabhanti diciptakan melalui ingatan dan improvisasi pelantun dengan menggunakan pola-pola formulaik—frasa, klausa, atau larik yang diulang sebagai alat bantu memori. Dalam kerangka ini, kabhanti menampakkan kreativitas kolektif yang hidup dalam konteks ekologis dan sosial tertentu.

Pada masyarakat Muna masa lalu, performa kabhanti dapat berlangsung semalam suntuk, dari pukul 21.00 hingga menjelang fajar. Kekuatan lisan, daya ingat, dan stamina sosial masyarakat agraris menjadikan kabhanti bukan sekadar seni pertunjukan, melainkan ritual sosial dan ekologis. Namun, seiring perubahan zaman dan bergesernya masyarakat Muna dari struktur agraris menuju masyarakat industri, kabhanti turut mengalami transformasi bentuk dan fungsi.

2. Transformasi Tradisi dan Tantangan Zaman

Menurut Mardimin (1994:13), “tradisi bukanlah suatu objek yang mati, melainkan alat yang hidup untuk melayani manusia yang hidup pula.” Dengan demikian, kabhanti sebagai produk budaya yang hidup juga dituntut untuk beradaptasi terhadap perubahan sosial, ekonomi, dan teknologi. Pergeseran pola masyarakat Muna dari agraris ke industrial—dengan munculnya sektor pariwisata, perdagangan, dan profesi urban—mempengaruhi waktu, ruang, dan bahkan cara mereka berinteraksi dengan tradisi.

Jika pada masa 1950–1980-an pertunjukan kabhanti dapat berlangsung delapan hingga sembilan jam, kini pertunjukan itu dipadatkan hanya empat jam. Reformasi ini bukan sekadar pemotongan, tetapi upaya “pemadatan” seperti yang disebut Mardimin (1994:146), yakni usaha menyesuaikan wadah dengan isi agar tetap relevan bagi publik yang berpola hidup praktis dan ekonomis.

Pergeseran ini juga menunjukkan adanya dinamika adaptif masyarakat Muna dalam menjaga kesinambungan tradisi. Dalam perspektif budaya, transformasi bukan berarti kehilangan keaslian, melainkan strategi kelangsungan (cultural survival). Sebagaimana ditegaskan Lubis (1985:vii), masa kini adalah kelanjutan masa lalu dan bagian dari proses menuju masa depan. Kabhanti yang berubah bentuknya tetap menyimpan nilai-nilai etika, estetika, dan religius yang diwariskan.

3. Kabhanti, Modernitas, dan Tantangan Pewarisan

Transformasi sosial menimbulkan konsekuensi pada pola pewarisan tradisi lisan. Di era modern, menurut Ong (1982) dalam Orality and Literacy: The Technologizing of the Word, masyarakat yang mulai mengenal media tulis dan teknologi digital mengalami pergeseran dari “kelisanan primer” (primary orality) menuju “kelisanan sekunder” (secondary orality), di mana tuturan lisan kini ditransmisikan melalui media modern.

Fenomena ini juga terjadi dalam tradisi kabhanti. Jika dahulu kabhanti diwariskan secara lisan dari pelantun ke pelantun di tengah sawah atau pada upacara adat, kini pewarisannya mulai memasuki ranah media digital. Pelantun muda merekam syair kabhanti dan menyebarkannya melalui platform media sosial seperti YouTube atau facebook, menjadikannya bagian dari ekosistem komunikasi baru.

Namun demikian, kekuatan kelisanan tetap menjadi ciri khas kabhanti. Sebagaimana diungkapkan Pudentia (1998:vii), tradisi lisan adalah “segala wacana yang diucapkan yang bukan aksara,” yakni pengetahuan yang hidup melalui suara, bunyi, dan performa tubuh. Dalam konteks ini, kabhanti menegaskan dirinya sebagai teks hidup yang tak sekadar dibaca, melainkan dirasakan dan dialami bersama.

4. Pelestarian Aktif: Dari Ruang Ritual ke Ruang Digital

Pelestarian kabhanti tidak bisa dilakukan dengan pendekatan konservatif yang membekukan bentuknya. Mardimin (1994:146) menolak gagasan pelestarian yang hanya mempertahankan keaslian tanpa adaptasi, karena hal itu akan menjadikan tradisi “mati.” Sebaliknya, pelestarian seni tradisi harus bersifat dinamis, menyesuaikan nilai-nilai sosial dan estetik masyarakat pada zamannya.

Dalam hal ini, konsep pelestarian kabhanti dapat dikembangkan melalui pendekatan ekolinguistik dan komunikasi budaya. Ekolinguistik menekankan bahwa bahasa dan budaya berkembang dalam interaksi dengan lingkungan sosial dan ekologisnya (Haugen, 1972). Dengan demikian, pelestarian kabhanti harus melibatkan penguatan konteks ekologisnya—cerita tentang sawah, ladang, gunung, dan laut sebagai sumber imajinasi—sekaligus membuka ruang adaptasi di media digital.

Sukatman (2010:22) menjelaskan bahwa teknologi komunikasi modern memiliki peran dominan dalam memperluas jangkauan tradisi lisan karena mampu menjembatani penutur dan pendengar yang terpisah secara ruang dan waktu. Melalui media massa dan platform digital, kabhanti kini dapat dinikmati lintas generasi dan lintas wilayah. Proses transmisi ini memperlihatkan model “pelestarian kreatif,” di mana tradisi dijaga bukan dengan menolak perubahan, melainkan dengan memanfaatkannya.

5. Refleksi: Tradisi sebagai Ekologi Pengetahuan

Transformasi kabhanti Muna menunjukkan bahwa tradisi lisan tidaklah statis, tetapi bergerak mengikuti denyut perubahan sosial dan ekologis masyarakatnya. Pergeseran dari masyarakat agraris ke masyarakat industri bukanlah akhir dari tradisi, melainkan fase adaptasi menuju bentuk baru.

Dalam konteks budaya global yang semakin cepat berubah, kabhanti menghadirkan pelajaran penting: tradisi bukan sekadar warisan masa lalu, tetapi juga ekologi pengetahuan yang hidup. Ia menyimpan nilai-nilai kebersamaan, ketekunan, dan harmoni antara manusia dan lingkungan. Melalui pendekatan ekolinguistik dan komunikasi digital, kabhanti dapat terus hidup sebagai jembatan antara kearifan lokal dan tantangan modernitas.

Sebagaimana ditegaskan Kayam (1981:69), pola masyarakat sangat berpengaruh terhadap cara mereka berkesenian. Oleh sebab itu, menjaga tradisi berarti juga memahami dinamika masyarakatnya. Transformasi kabhanti adalah bukti bahwa tradisi lisan Muna masih berdenyut, beradaptasi, dan terus mencari bentuk baru untuk tetap bermakna di tengah zaman.

Daftar Pustaka

Alwi, H. (2005). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Haugen, E. (1972). The Ecology of Language. Stanford: Stanford University Press.

Kayam, U. (1981). Seni, Tradisi, dan Masyarakat. Jakarta: Pustaka Jaya.

Lord, A. B. (1960). The Singer of Tales. Cambridge: Harvard University Press.

Lubis, M. (1985). Manusia Indonesia: Sebuah Pertanggungjawaban. Jakarta: Sinar Harapan.

Mardimin, J. (1994). Kebudayaan dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Kanisius.

Ong, W. J. (1982). Orality and Literacy: The Technologizing of the Word. London: Routledge.

Pudentia, M. (1998). Metodologi Kajian Tradisi Lisan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Sukatman. (2010). Tradisi Lisan dan Media Massa: Perspektif Komunikasi Budaya. Yogyakarta: LKiS.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top