Tradisi Lisan sebagai Pilar Pendidikan Sosial dan Budaya

Oleh: Hadirman

Pengantar

Tradisi lisan telah lama menjadi fondasi dalam pewarisan nilai, norma, dan pengetahuan di masyarakat. Melalui cerita rakyat, legenda, permainan tradisional, hingga ungkapan-ungkapan lokal, generasi tua mendidik generasi muda agar memiliki kepekaan sosial dan kearifan budaya. Menurut Hasanah dan Andari (2021), tradisi lisan tidak sekadar menjadi hiburan, tetapi juga media pembelajaran yang sarat nilai sosial dan budaya yang membentuk identitas masyarakat.

Namun, dalam era digitalisasi, tradisi lisan mulai tergeser oleh media modern. Rokhmawan (2018) menegaskan bahwa berkurangnya perhatian pada kesusastraan lisan menyebabkan generasi muda kehilangan akses pada nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya. Hal ini menjadi alarm bahwa pendidikan formal perlu mengintegrasikan kembali tradisi lisan ke dalam kurikulum agar tetap relevan.

Revitalisasi Tradisi Lisan pada Komunitas Lokal

Beberapa penelitian menunjukkan upaya revitalisasi tradisi lisan melalui pendekatan berbasis masyarakat. Lestari, Rokhmawan, Aisyah, Makhrisa, dan Amaliah (2024) mencontohkan bagaimana legenda Kiai Sepuh di Desa Gentong digunakan sebagai media pembelajaran siswa sekolah dasar untuk meningkatkan kepekaan sosial. Cerita yang diturunkan dari generasi ke generasi ini menjadi sarana efektif untuk menanamkan nilai solidaritas dan kepedulian.

Hal serupa terlihat dalam kajian Karsiwan, Sari, dan Azzahra (2022) mengenai Sagata di Lampung, yang diposisikan sebagai identitas kultural masyarakat. Tradisi ini bukan hanya sebuah ekspresi budaya, tetapi juga bentuk pendidikan informal yang menanamkan kesadaran identitas kolektif.

Selain itu, Afifulloh, Saputra, dan Darmawan (2025) menyoroti pentingnya pelestarian sastra lisan di Desa Pelepak Pute, Pulau Belitung. Mereka menunjukkan bahwa keterlibatan masyarakat antargenerasi dalam menceritakan ulang tradisi lisan dapat memperkuat identitas budaya sekaligus mempererat solidaritas sosial.

Tradisi Lisan dan Pendidkan Karakter

Di tengah gempuran budaya global, permainan tradisional dan bentuk budaya lisan lain tetap relevan untuk membentuk karakter bangsa. Isbandiyah, Satinem, Felani, Salsabilla, Herlyansah, dan Hakim (2025) melalui penelitian di Kampung Budaya Batu Urip menegaskan bahwa permainan tradisional berfungsi sebagai media edukasi karakter anak. Aktivitas tersebut bukan hanya melatih keterampilan sosial, tetapi juga menumbuhkan sikap gotong royong, sportivitas, dan kemandirian.

Kajian lain menyoroti tradisi lisan Memmang di Lampung yang digunakan sebagai sarana pendidikan moral masyarakat (Karsiwan, Sari, & Purwasih, 2021). Melalui tradisi ini, nilai etika dan sopan santun diwariskan secara alami kepada generasi muda.

Tantangan dan Harapan

Tantangan terbesar dalam menjaga tradisi lisan adalah minimnya dokumentasi serta pergeseran pola komunikasi masyarakat modern (Sari, 2023). Jika tidak segera diantisipasi, tradisi lisan hanya akan tersisa sebagai catatan arsip, bukan praktik hidup. Utomo dan Kurniawan (2017) menambahkan bahwa pendidikan formal dapat menjadi jembatan penting untuk menghidupkan kembali tradisi lisan, khususnya dalam pembelajaran ilmu sosial.

Dengan demikian, tradisi lisan harus dipandang sebagai warisan yang relevan dengan kebutuhan pendidikan kontemporer. Melalui strategi integrasi di sekolah, pemberdayaan komunitas, serta dokumentasi yang sistematis, tradisi lisan dapat terus hidup dan menjadi media efektif dalam membangun karakter bangsa.

Referensi

Afifulloh, M., Saputra, P. P., & Darmawan, I. N. P. (2025). Antara Cerita & Tradisi: Pelestarian Warisan Sastra Lisan Masyarakat Antargenerasi Melayu Desa Pelepak Pute, Pulau Belitung. Jurnal Pengabdian kepada Masyarakat Desa (JPMD), 6(2), 435-449.

Hasanah, L. U., & Andari, N. (2021). Tradisi lisan sebagai media pembelajaran nilai sosial dan budaya masyarakat. Jurnal Ilmiah Fonema, 4(1), 48-66.

Isbandiyah, I., Satinem, Y., Felani, R. O., Salsabilla, K. T., Herlyansah, R. B., & Hakim, R. (2025). Pemberdayaan Kampung Budaya Batu Urip melalui Edukasi Permainan Tradisional sebagai Media Penanaman Nilai Karakter Bangsa Ramah Anak. Jurnal Medika: Medika, 4(3), 725-731.

Karsiwan, K., Sari, L. R., & Azzahra, A. (2022). Sagata sebagai identitas tradisi lisan masyarakat Lampung. Pangadereng: Jurnal Hasil Penelitian Ilmu Sosial dan Humaniora, 8(2), 251-270.

Karsiwan, K., Sari, L. R., & Purwasih, A. (2021). Memmang: Tradisi lisan masyarakat Lampung. Jurnal Walasuji, 12(2), 171-183.

Lestari, F. Y., Rokhmawan, T., Aisyah, A., Makhrisa, R. A., & Amaliah, K. (2024). Revitalisasi Budaya Lisan Legenda Kiai Sepuh Desa Gentong Untuk Meningkatkan Kepekaan Siswa Sekolah Dasar. Jurnal Pengabdian Sosial, 1(11), 1869-1883.

Rokhmawan, T. (2018). Mengakrabkan Budaya Lisan dan Penyelenggara Pendidikan sebagai Upaya Merevitalisasi Kesusastraan Lisan-Lokal. OSF Preprints.

Sari, D. (2023). Tradisi Lisan Kantola Pada Masyarakat Muna: Bentuk, Fungsi, Dan Makna. Penerbit NEM.

Utomo, C. B., & Kurniawan, G. F. (2017). Bilamana tradisi lisan menjadi media pendidikan ilmu sosial di masyarakat Gunungpati. Harmony: Jurnal Pembelajaran IPS Dan PKN, 2(2), 169-184.

Biodata Penulis

Dr. Hadirman, S.Pd., M.Hum., dosen dan peneliti di Institut Agama Islam Negeri Manado. Penulis dan editor buku ilmiah dan buku ajar. Saat ini sedang mengembangkan penerbitkan buku sastra dan ilmiah.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top