Hadirman
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Manado
Email: hadirman@iain-manado.ac.id
Pendahuluan
Masyarakat global saat ini hidup dalam pusaran multikulturalisme dan pluralisme agama yang semakin kompleks. Fenomena ini menimbulkan dua tantangan utama: menjaga kohesi sosial dan membangun kepercayaan antarkelompok.
Pendidikan menjadi ruang paling potensial untuk membentuk generasi yang toleran dan berdaya nalar lintas iman. Namun, sebagaimana ditunjukkan oleh Lähnemann (2017), pendidikan agama tradisional yang bersifat eksklusif sering kali gagal menumbuhkan rasa percaya di antara kelompok yang berbeda keyakinan.
Sebaliknya, pendidikan multikultural yang membuka ruang dialog dan saling belajar antaragama mampu menumbuhkan “kepercayaan sosial” — yakni keyakinan bahwa orang lain, meski berbeda keyakinan, tetap dapat dipercaya dalam membangun kehidupan bersama. Rizwan (2024) mengidentifikasi bahwa jaringan sosial, norma, dan kepercayaan adalah tiga pilar pembentuk kohesi sosial. Maka, bahasa pendidikan agama perlu diarahkan untuk membangun narasi inklusif dan dialogis, bukan dikotomis dan konfrontatif. Dalam konteks ini, bahasa berperan sebagai “ekosistem moral” yang menentukan arah hubungan sosial.
Pendidikan Multikultural dan Pembentukan Kepercayaan
Kostyukova dan Marchukova (2017) menyebut bahwa unsur kepercayaan adalah fondasi utama dalam pendidikan kaum muda di masyarakat plural. Lähnemann (2017) menegaskan pentingnya multi-faith education sebagai sarana membangun saling pengertian dan solidaritas lintas agama di Eropa, yang relevan pula untuk konteks Indonesia.
Seran (2025) menambahkan bahwa dialog antaragama memiliki efek preventif terhadap konflik sosial, sebab membuka kesadaran akan kemanusiaan universal di balik perbedaan doktrin.
Nafisah dan Muttaqin (2024) dari UIN Malang menunjukkan bahwa semakin dalam pemahaman keagamaan seseorang, semakin tinggi pula potensi toleransi antaragama, selama pendidikan tersebut mengintegrasikan wawasan lintas iman dan empati sosial. Dengan demikian, pendidikan bukan hanya transmisi doktrin, tetapi juga transformasi kesadaran.
Bahasa, Dialog, dan Ekologi Sosial
Bahasa yang digunakan dalam ruang pendidikan agama menentukan “iklim sosial” tempat kepercayaan tumbuh. Dalam kerangka ekolinguistik religius, setiap ujaran religius menciptakan resonansi makna: apakah ia mengundang perdamaian atau memperlebar jurang sosial. Ketika pendidikan agama menggunakan metafora harmoni, kasih, dan tanggung jawab ekologis, maka bahasa menjadi medium yang memperkuat kepercayaan sosial dan solidaritas lintas iman. Kajian G. Smith (2023) menunjukkan bahwa anak-anak di sekolah multiagama membangun social bonding dan bridging capital melalui aktivitas kolaboratif dan komunikasi lintas tradisi. Ini menunjukkan bahwa pendidikan yang berbahasa damai dapat melahirkan ekologi sosial yang sehat.
Implikasi Konseptual
- Bahasa religius inklusif perlu dikembangkan dalam kurikulum pendidikan agama agar siswa belajar memahami iman lain tanpa ancaman terhadap identitasnya.
- Dialog lintas iman perlu dijadikan strategi pedagogis, bukan sekadar acara simbolik.
- Ekopedagogi religius dapat menjadi model yang mengintegrasikan keimanan, lingkungan, dan kemanusiaan sebagai tiga dimensi saling terkait.
- Pendidikan tinggi keagamaan perlu mendorong riset ekolinguistik religius untuk memetakan bentuk-bentuk wacana keagamaan yang memperkuat kepercayaan sosial.
Kesimpulan
Membangun kepercayaan sosial di masyarakat multiagama bukanlah proyek politik semata, melainkan proses kultural dan linguistik yang berlangsung melalui pendidikan. Bahasa religius yang terbuka, dialogis, dan ekologis menjadi jantung dari pendidikan yang memanusiakan.
Dengan demikian, pendekatan ekolinguistik religius dapat berkontribusi signifikan dalam membangun peradaban damai yang berakar pada keimanan, keadilan, dan keseimbangan ekologis.
Daftar Pustaka
Kostyukova, T. A., Marchukova, S. M., Shaposhnikova, T. D., Zianshina, R. I., A Kostyukova, T., M Marchukova, S., … & I Zianshina, R. (2017). Forming youth’s sense of social cohesion and trust by multicultural education. European Proceedings of Social and Behavioural Sciences, 28.
Lähnemann, J. (2017). Interreligious Education: A Way for Building Trust. In Interfaith Education for All: Theoretical Perspectives and Best Practices for Transformative Action (pp. 31-43). Rotterdam: SensePublishers.
Nafisah, A., Muttaqin, M., Indrawan, D., Zainuddin, Z., & Rustandi, J. (2024). Complex dynamics: Analyzing the profound impact of religious education depth on interfaith tolerance levels in a multicultural society in the globalization era. International Journal of Teaching and Learning (INJOTEL), 2(1), 135-150.
Rizwan, M. (2024). The Relationship Between Religion and Social Cohesion in Multicultural Societies. Journal of Management and Social Sciences Review, 2(2), 8-23.
Seran, Y. (2025). The role of interfaith dialogue in enhancing social tolerance in multicultural communities. Jurnal Konseling dan Pendidikan, 13(2), 326-334.
Smith, G. (2023). Children, Religion and Social Capital: Bonding and Bridging in Multi-faith Urban Neighbourhoods. Research in the Social Scientific Study of Religion, 33, 360-387.dy of Religion.
