Ekolinguistik di Persimpangan Zaman: Menimbang Arah dan Masa Depan Studi Bahasa dan Ekologi

Oleh: Hadirman

Perkembangan kajian ekolinguistik  menunjukkan bahwa bidang ini telah bertransformasi dari sekadar metafora ekologis dalam bahasa menjadi disiplin ilmiah yang matang dan multidimensional. Jika pada masa awalnya ekolinguistik hanya dipahami sebagai linguistic ecology—seperti dijelaskan oleh Alwin Fill (2001)—yakni pendekatan yang menggabungkan makna metaforis dan literal dari konsep “ekologi” dan “lingkungan,” maka kini wacananya telah berkembang jauh melampaui batas linguistik tradisional.

Dalam pandangan Steffensen dan Fill (2014), ekolinguistik memiliki empat aliran utama yang menandai fase-fase sejarahnya. Dari sini tampak bahwa ekolinguistik bukan sekadar studi hubungan bahasa dan alam, melainkan juga refleksi kritis atas bagaimana manusia menggunakan bahasa untuk menarasikan dunia ekologisnya. Dengan demikian, bahasa tidak lagi dipahami sebagai sistem tanda yang netral, tetapi sebagai bagian integral dari jejaring kehidupan (biosfer).

Sejalan dengan itu, Arran Stibbe (2010; 2015) menempatkan ekolinguistik dalam konteks globalisasi dan ekologi biosfer. Melalui karyanya Ecolinguistics: Language, Ecology and the Stories We Live By (2015), Stibbe menegaskan bahwa bahasa membentuk “cerita-cerita yang kita hidupi” — narasi yang dapat memperkuat atau justru merusak keseimbangan ekologis. Ekolinguistik, karenanya, bukan hanya analisis bahasa, melainkan juga upaya etis untuk membangun kesadaran ekologis melalui wacana.

Kajian Hermine Penz dan Alwin Fill (2022) dalam Journal of World Languages memperkuat pandangan tersebut. Mereka melihat bahwa ekolinguistik kini menjadi medan yang “hidup dan berkembang pesat,” dengan masa depan yang menjanjikan. Pandangan ini diperkuat oleh Wen Zhou (2022) yang menyebut bahwa setengah abad perjalanan ekolinguistik telah membawa bidang ini menuju kematangan teoritik. Artinya, ekolinguistik telah menemukan pijakan konseptual yang kuat untuk menjawab persoalan-persoalan global seperti perubahan iklim, krisis lingkungan, dan dehumanisasi wacana.

Hadirman (2022) menulis buku berjudul Ekolinguistik: Konsep, Teori, dan Aplikasi bahwa ekolinguistik adalah bidang kajian linguistik makro yang membahas hubungan bahasa dan lingkungan (ekologi) dalam arti yang luas. Steffensen (2024) dalam tulisannya On the Demarcation of Ecolinguistics mengingatkan bahwa batas-batas epistemologis ekolinguistik perlu terus diperjelas. Ada dua tradisi besar yang seringkali bersinggungan: pertama, ekolinguistik sebagai studi metaforis tentang bahasa dan lingkungan sosial; kedua, ekolinguistik sebagai pendekatan ekologis yang literal terhadap sistem bahasa dalam konteks alam. Pertemuan dua tradisi ini menghasilkan perdebatan produktif yang justru memperkaya arah perkembangannya.

Terbaru, dalam artikel Surveying Ecolinguistics (Steffensen, 2025), muncul gagasan bahwa ekolinguistik kini harus dilihat sebagai “enterprise” yang berorientasi pada interaksi antara manusia, bahasa, dan lingkungan hidup. Artinya, arah baru ekolinguistik bergerak menuju integrasi interdisipliner—menghubungkan linguistik, ekologi, psikologi, dan bahkan studi budaya.

Sementara itu, Dash (2019) membahas pentingnya memperjelas ruang lingkup ekolinguistik agar tidak kehilangan arah di tengah perkembangan pesatnya. Ia menegaskan bahwa banyak pembaca yang belum memahami posisi dan orientasi disiplin ini secara tepat, sehingga dibutuhkan pendidikan konseptual yang lebih luas tentang evolusi dan prospeknya.

Karya, The Routledge Handbook of Ecolinguistics (Fill & Penz, 2017) menjadi semacam peta jalan yang menunjukkan posisi ekolinguistik sebagai “pacesetter” dalam studi bahasa kontemporer. Buku tersebut memperlihatkan bahwa ekolinguistik bukan sekadar wacana teoritis, melainkan fondasi baru bagi penelitian bahasa yang berkelanjutan dan beretika ekologis.

Penutup

Melihat lintasan sejarahnya, ekolinguistik sedang berada di persimpangan antara ilmu dan aksi. Ia bukan lagi sekadar wacana akademik, tetapi gerakan intelektual yang menuntut tanggung jawab ekologis dari setiap ujaran manusia. Tantangannya kini adalah bagaimana menjembatani teori dan praktik—bagaimana bahasa dapat benar-benar menjadi kekuatan yang menjaga, bukan merusak, kehidupan di bumi.

Daftar Pustaka

Steffensen, S. V., & Fill, A. (2014). Ecolinguistics: the state of the art and future horizons. Language sciences, 41, 6-25.

Penz, H., & Fill, A. (2022). Ecolinguistics: History, today, and tomorrow. Journal of World Languages, 8(2), 232-253.

Fill, A. (2001). Ecolinguistics: State of the art 1998. The ecolinguistics reader: Language, ecology and environment, 43-53.

Stibbe, A. (2010). Ecolinguistics and globalization. The handbook of language and globalization, 406-425.

Dash, R. K. (2019). What is ecolinguistics. Language in India, 19(5), 379-384.

Stibbe, A. (2015). Ecolinguistics: Language, ecology and the stories we live by. Routledge.

Zhou, W. (2022). Ecolinguistics: A half-century overview. Journal of World Languages, 7(3), 461-486.

Fill, A., & Penz, H. (Eds.). (2017). The Routledge handbook of ecolinguistics. London: Routledge.

Hadirman. 2022. Ekolinguistik: Konsep, Teori, dan Aplikasi. Surabaya: CV Kanaka.

Steffensen, S. V. (2025). Surveying ecolinguistics. Journal of World Languages, 11(1), 1-49.

Steffensen, S. V. (2024). On the demarcation of ecolinguistics. Journal of World Languages, 10(3), 499-527.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top