Oleh Hadirman
1. Kabhanti: Cermin Ekologi dan Ingatan Kolektif
Tradisi lisan kabhanti merupakan salah satu wujud ekspresi budaya tertua masyarakat etnik Muna yang lahir dari kedekatan manusia dengan alam dan lingkungan sosialnya. Kabhanti bukan sekadar bentuk hiburan, melainkan juga media komunikasi budaya yang sarat makna, berfungsi sebagai pengikat sosial dan refleksi nilai kehidupan agraris masyarakat Muna.
Sebagaimana ditegaskan oleh Albert B. Lord (1960), setiap karya tradisi lisan lahir dari formula-formula memori kolektif: frasa, larik, dan klausa yang muncul melalui daya ingat dan improvisasi pelantun. Dalam konteks Muna, formula kabhanti menampung berbagai bentuk representasi alam, seperti gunung, hutan, pepohonan, dan sungai yang menjadi metafora moral dan spiritual masyarakat.
Namun, kabhanti bukan artefak yang beku. Ia merupakan teks hidup yang tumbuh dan berubah seiring dinamika ekologi dan sosial budaya masyarakatnya. Karena itu, perubahan struktur sosial, ekonomi, dan teknologi masyarakat Muna sejak 1970-an juga ikut menggeser cara masyarakat berinteraksi dengan kabhanti.
2. Dari Agraris ke Industri: Pergeseran Ritme Kesenian
Seperti dijelaskan Mardimin (1994:11–15), kebudayaan tidak pernah statis; ia berkembang dan bertransformasi untuk menyesuaikan diri dengan konteks zaman. Perubahan masyarakat Muna dari komunitas agraris menjadi masyarakat industri dan jasa telah mengubah sistem nilai, waktu luang, serta ritme hidup mereka.
Pada masa kejayaan kabhanti (1950–1980), pertunjukan ini dapat berlangsung semalam suntuk—dari pukul 21.00 hingga 05.00 pagi. Penonton dan pelantun kabhanti saling bertukar energi dalam ruang sosial yang intim. Namun kini, durasi pementasan menyusut menjadi hanya tiga hingga empat jam, disesuaikan dengan tuntutan profesi dan kehidupan urban masyarakat modern.
Seperti diungkapkan Kayam (1981:69), pola masyarakat sangat memengaruhi cara mereka berkesenian. Ketika masyarakat bergeser dari petani ke pekerja sektor industri, maka kesenian juga ikut menyesuaikan diri dengan struktur sosial baru. Di sinilah kabhanti mengalami transformasi bentuk: dari pertunjukan panjang bernuansa ritual menjadi pertunjukan singkat bernuansa hiburan dan identitas budaya.
3. Transformasi sebagai Strategi Bertahan
Transformasi budaya, menurut Mardimin (1994:13–15), adalah proses perubahan konsep, bentuk, dan fungsi kebudayaan secara sadar untuk menyesuaikan diri dengan kebutuhan zaman. Dalam konteks kabhanti, perubahan durasi, pola penampilan, dan tema merupakan bentuk adaptasi, bukan kemerosotan nilai. Transformasi ini perlu dipahami bukan sebagai kehilangan keaslian, tetapi sebagai metamorfosis makna—dari kelisanan murni menuju kelisanan digital dan performatif yang berakar pada nilai-nilai lama namun berwajah baru.
4. Pelestarian yang Hidup, Bukan yang Beku
Konsep pelestarian sering disalahpahami sebagai upaya mempertahankan bentuk tradisi secara utuh tanpa perubahan. Padahal, sebagaimana dikatakan Mardimin (1994:146), pelestarian yang sejati justru menuntut “perubahan yang diselaraskan dengan tata nilai hidup masyarakat pada waktunya.”
Pelestarian yang beku hanya akan mematikan tradisi; sedangkan pelestarian yang hidup adalah yang mampu menyesuaikan wadah dengan isi. Dalam seni tradisi, hal ini disebut pemadatan—penyederhanaan bentuk agar relevan dengan publik modern tanpa menghilangkan esensinya.
Dengan demikian, upaya pelestarian kabhanti tidak cukup hanya dengan mendokumentasikan teks atau melatih pelantun baru. Diperlukan strategi inovatif seperti digitalisasi, festival budaya, dan integrasi kabhanti ke dalam pendidikan lokal agar tradisi ini tetap “bernapas” dalam ruang sosial masyarakat Muna.
5. Teknologi dan Kelisanan Sekunder
Dalam era digital, pelestarian kabhanti menghadapi tantangan sekaligus peluang. Sukatman (2010:22, 51) menjelaskan bahwa media massa dan teknologi komunikasi memiliki peran dominan dalam menyebarkan tradisi lisan karena mampu menjangkau mayoritas penduduk. Melalui internet, kabhanti dapat direkam, diunggah, dan dinikmati lintas generasi dan geografis.
Di sinilah berlaku konsep “kelisanan sekunder” dari Walter J. Ong (1982), yaitu bentuk kelisanan baru yang muncul melalui media elektronik dan digital. Kabhanti kini dapat hadir dalam bentuk rekaman video, podcast, atau media sosial, tanpa kehilangan spirit lisan yang menjadi jiwanya. Namun, tantangannya adalah menjaga otentisitas performatif—intonasi, gestur, dan interaksi sosial—yang menjadi ruh utama tradisi lisan.
Pewarisan melalui media baru ini menciptakan paradoks: kelisanan yang sekaligus terekam, spontanitas yang sekaligus tersusun. Tapi justru di sanalah letak daya hidupnya—antara tradisi dan modernitas, antara ritual dan teknologi.
6. Ekologi, Memori, dan Identitas
Kabhanti pada dasarnya adalah ekspresi ekologis—hubungan manusia dengan alam yang mengandung kesadaran ekologis dan spiritualitas lokal. Ketika pelantun menggambarkan bukit, hutan, dan sawah, mereka tidak sekadar bernyanyi, tetapi menuturkan narasi ekologis yang merefleksikan harmoni manusia dengan lingkungannya.
Dalam konteks globalisasi dan krisis ekologi, kabhanti dapat dibaca sebagai teks resistensi terhadap modernitas yang destruktif. Ia mengingatkan kita bahwa bahasa dan alam adalah dua entitas yang saling menopang. Tradisi seperti kabhanti bisa menjadi arsip ekolinguistik yang merekam perubahan hubungan manusia dengan ekosistemnya.
7. Penutup: Kabhanti di Persimpangan Zaman
Kabhanti Muna kini berada di persimpangan antara tradisi dan modernitas, antara kelisanan dan digitalisasi. Namun, ia tidak punah—ia hanya bertransformasi. Seperti ditegaskan oleh Mardimin (1994:15), transformasi budaya adalah jalan terbaik untuk mencapai masa depan yang lebih baik dengan memperbaiki budaya masa kini. Maka tugas kita bukan sekadar menjaga kabhanti sebagai peninggalan, melainkan menghidupkannya sebagai ruang kreatif dan ekologis yang terus berdialog dengan zaman.
Dengan menjadikan kabhanti bagian dari kurikulum lokal, dokumentasi digital, dan ruang pertunjukan modern, masyarakat Muna sebenarnya sedang menulis bab baru dari sejarah tradisi lisan Nusantara—bab yang tidak lagi bicara tentang kehilangan, tetapi tentang kelahiran kembali.
Daftar Pustaka
Alwi, H. (2005). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Haugen, E. (1972). The Ecology of Language. Stanford: Stanford University Press.
Kayam, U. (1981). Seni, Tradisi, dan Masyarakat. Jakarta: Pustaka Jaya.
Lord, A. B. (1960). The Singer of Tales. Cambridge: Harvard University Press.
Lubis, M. (1985). Manusia Indonesia: Sebuah Pertanggungjawaban. Jakarta: Sinar Harapan.
Mardimin, J. (1994). Kebudayaan dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Kanisius.
Ong, W. J. (1982). Orality and Literacy: The Technologizing of the Word. London: Routledge.
Pudentia, M. (1998). Metodologi Kajian Tradisi Lisan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Sukatman. (2010). Tradisi Lisan dan Media Massa: Perspektif Komunikasi Budaya. Yogyakarta: LKiS.
