Oleh: Hadirman
Pengantar
Dalam konteks Indonesia yang plural dan multikultural, pendidikan memiliki peran vital untuk menanamkan nilai-nilai kebersamaan, toleransi, dan moderasi beragama. Sekolah bukan sekadar tempat transfer ilmu, tetapi juga ruang untuk membentuk karakter bangsa. Penelitian yang saya lakukan di SMA Muhammadiyah 1 Unismuh Makassar pada Juni 2021 memberikan gambaran nyata tentang bagaimana nilai-nilai tersebut diintegrasikan dalam pembelajaran dan kehidupan sehari-hari di sekolah. Tulisan ini mencoba merefleksikan praktik baik tersebut dan menawarkan opini mengenai urgensi pendidikan berbasis budaya religius yang mengedepankan moderasi beragama sebagai fondasi kehidupan berbangsa.
Moderasi Beragama: Jalan Tengah di Tengah Keberagaman
Konsep moderasi beragama telah banyak didengungkan pemerintah melalui Kementerian Agama RI. Moderasi dipahami sebagai jalan tengah dalam beragama, yang menghindari sikap ekstrem, baik radikal maupun liberal. Nilai ini menuntun warga sekolah untuk tetap teguh pada keyakinannya, tetapi juga terbuka, menghormati, dan hidup berdampingan dengan pemeluk agama lain (Mukhlis, 2020). Di sekolah-sekolah Muhammadiyah, nilai moderasi ini hadir secara kontekstual. Kurikulum keagamaan tidak hanya menekankan penguasaan materi normatif, tetapi juga penanaman sikap saling menghargai, berdialog, dan bekerjasama. Praktik ini menjadi salah satu model pendidikan Islam yang berorientasi pada rahmatan lil alamin.
Sekolah sebagai Laboratorium Budaya Religius
Hasil penelitian saya menunjukkan bahwa SMA Muhammadiyah 1 Unismuh Makassar berhasil membangun ekosistem sekolah sebagai laboratorium budaya religius. Budaya religius di sini bukan sekadar rutinitas ibadah bersama, melainkan suasana kebersamaan yang dijiwai oleh nilai spiritual, etika, dan moralitas Islam. Kegiatan seperti shalat berjamaah, pengajian rutin, hingga diskusi toleransi menjadi bagian integral dari proses pembelajaran. Guru berperan penting bukan hanya sebagai pengajar, tetapi juga teladan. Siswa terbiasa dengan praktik kebersamaan yang mendukung sikap moderat: menghormati perbedaan, terbuka dalam diskusi, serta menjunjung tinggi nilai akhlak. Hal ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang menyebutkan bahwa budaya religius di sekolah mampu membentuk karakter siswa yang lebih terbuka, disiplin, dan toleran (Artapati & Budiningsih, 2017).
Metode Pembelajaran yang Menghidupkan Moderasi
Salah satu aspek menarik dari penelitian ini adalah metode pembelajaran yang diterapkan. Guru tidak hanya mengandalkan ceramah, tetapi juga menghadirkan metode diskusi, studi kasus, hingga pembelajaran kolaboratif. Misalnya, dalam pelajaran Pendidikan Agama Islam, guru mengajak siswa mendiskusikan isu-isu aktual seperti perbedaan mazhab, kehidupan bertetangga lintas agama, dan fenomena media sosial yang sering menjadi ruang intoleransi. Dari situ, siswa belajar bahwa perbedaan bukanlah ancaman, melainkan kenyataan yang harus dihadapi dengan sikap bijak. Metode ini sejalan dengan paradigma pembelajaran modern yang menempatkan siswa sebagai subjek aktif. Mereka tidak hanya menghafal materi, tetapi juga menginternalisasi nilai melalui pengalaman belajar langsung.
Tantangan dalam Implementasi
Tentu, penerapan budaya religius berbasis moderasi tidak lepas dari tantangan. Pertama, masih ada sebagian guru yang berorientasi pada metode konvensional sehingga nilai-nilai moderasi kurang tersampaikan secara mendalam. Kedua, arus informasi digital sering kali membawa narasi intoleransi yang mempengaruhi siswa. Ketiga, dukungan kebijakan sekolah perlu terus diperkuat agar praktik moderasi menjadi bagian resmi dari kurikulum tersembunyi (hidden curriculum). Namun demikian, tantangan ini sekaligus menjadi peluang. Sekolah dapat mengoptimalkan peran teknologi dengan menghadirkan konten digital yang mendukung moderasi beragama. Guru juga perlu dibekali pelatihan agar semakin kreatif dalam mengintegrasikan nilai moderasi ke dalam mata pelajaran.
Mengapa Penting untuk Sekolah Lain?
Pengalaman di SMA Muhammadiyah 1 Unismuh Makassar memberikan pelajaran berharga. Integrasi nilai moderasi beragama tidak bisa dilepaskan dari tiga aspek utama: budaya sekolah, metode pembelajaran, dan teladan guru. Jika praktik ini diperluas ke sekolah-sekolah lain, maka pendidikan kita akan semakin berperan sebagai benteng peradaban yang melahirkan generasi toleran, moderat, dan siap hidup dalam keragaman. Hal ini krusial untuk menjaga keutuhan bangsa Indonesia di tengah tantangan global yang semakin kompleks.
Rekomendasi Opini
Dari hasil penelitian dan refleksi ini, saya menyampaikan beberapa rekomendasi: (1) Sekolah perlu memperkuat budaya religius yang tidak hanya ritualistik, tetapi juga substantif dengan menanamkan nilai moral, etika, dan toleransi; (2) Guru harus menjadi role model yang menghadirkan sikap moderat dalam interaksi sehari-hari; (3) Kurikulum tersembunyi harus diarahkan untuk mendukung pendidikan karakter berbasis moderasi beragama; dan (4) Penggunaan media digital perlu dioptimalkan sebagai ruang belajar toleransi, bukan arena penyebaran ujaran kebencian.
Penutup
Integrasi nilai moderasi beragama di sekolah bukanlah agenda sementara, melainkan kebutuhan jangka panjang. Sekolah Muhammadiyah 1 Unismuh Makassar telah menunjukkan bahwa pendidikan agama dapat dihadirkan dengan cara yang inklusif, adaptif, dan relevan dengan konteks keberagaman Indonesia. Sebagai bangsa yang kaya budaya dan agama, kita perlu terus mendorong praktik serupa di berbagai sekolah. Dengan begitu, generasi muda tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga matang secara spiritual dan sosial. Itulah investasi terbaik untuk masa depan Indonesia yang damai dan harmonis.
Daftar Pustaka
Artapati, A. S., & Budiningsih, C. A. (2017). Budaya Religius dalam Meningkatkan Karakter Siswa. Jurnal Pendidikan Karakter, 7(2), 207–221.
Mukhlis, A. (2020). Moderasi Beragama dalam Pendidikan Islam: Antara Konsep dan Implementasi. Jurnal Pendidikan Islam, 9(1), 45–60.
Kementerian Agama RI. (2019). Moderasi Beragama. Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama.
Biografi Penulis
Dr. Hadirman, M.Hum, Dosen IAIN Manado
