Katoba: Bahasa, Religiusitas, dan Identitas Budaya Muna

Dr. Hadirman, M.Hum

Pendahuluan

Dalam lintasan sejarah manusia, bahasa selalu menjadi medium yang tidak sekadar mengkomunikasikan pesan, tetapi juga mengikat nilai, menginternalisasikan keyakinan, serta membentuk identitas kolektif. Salah satu contoh penting yang mencerminkan fungsi bahasa sebagai ruang pertemuan antara agama dan budaya adalah ritual Katoba pada masyarakat Muna di Sulawesi Tenggara. Sebagai ritus peralihan yang dialami anak-anak menjelang akil baligh, Katoba memperlihatkan bagaimana Islam sebagai agama universal berinteraksi dengan kearifan lokal masyarakat Muna, menghasilkan sebuah praktik religius yang khas, penuh simbolisme, sekaligus menyimpan makna teologis dan etis.

Bahasa sebagai Medium Religius

Dalam teori linguistik religius, bahasa tidak hanya dipandang sebagai sarana komunikasi netral, tetapi juga sebagai instrumen ideologis yang membangun iman dan komunitas (Rahimi & Hematiyan, 2010). Dalam Katoba, terdapat percampuran dua lapis bahasa: bahasa suci (Arab) dan bahasa lokal (Muna). Bahasa Arab digunakan pada pengucapan dua kalimat syahadat, doa, dan ayat Al-Qur’an. Ia berfungsi sebagai penghubung langsung dengan sumber otoritas ilahi, menjaga kemurnian pesan Islam, serta menegaskan otentisitas iman.

Namun, di sisi lain, bahasa Muna hadir sebagai medium penjelas, penafsir, dan penginternalisasi nilai. Nasihat pemuka adat disampaikan dalam bahasa lokal agar anak yang di-katoba dapat memahami dengan hati, bukan sekadar dengan akal. Hal ini sejalan dengan gagasan Donovan (1976) bahwa bahasa lokal dalam praktik religius berperan sebagai “jembatan kultural” agar pesan ilahi lebih mudah diakses dalam konteks sosial tertentu.

Dimensi Taubat dalam Katoba

Bahan-bahan lisan yang dihimpun dari para tokoh masyarakat Muna memperlihatkan betapa kuatnya dimensi taubat dalam ritual Katoba. Anak yang menjalani Katoba diarahkan untuk menyesali segala perbuatan yang salah—baik perilaku, ucapan, maupun tindakan yang merugikan orang lain—lalu berjanji untuk tidak mengulanginya lagi.

Ungkapan dososo (menyesal), dobhotukie (memutuskan), dan dofekakodohoe (menjauhi) menjadi inti dari ajaran Katoba. Tiga istilah ini menegaskan bahwa taubat bukanlah sekadar ucapan, tetapi sebuah transformasi moral yang mengikat diri untuk berhenti, menyesal, dan menjauhi. Secara performatif, ungkapan ini tidak hanya mendidik anak secara personal, tetapi juga mengukuhkan posisinya dalam komunitas sebagai Muslim yang sah.

Etika Sosial dalam Ritual

Salah satu aspek menarik dari Katoba adalah adanya nasihat tentang etika sosial. Pemimpin ritual sering mengucapkan formula seperti Omotehie amamu lansaringini Allah Taala (taati ayahmu ibarat pengganti Allah) atau Omotehie inamu lansaringini Nabi Muhammad (taati ibumu ibarat pengganti Nabi Muhammad). Ungkapan ini bukan sekadar metafora, melainkan bentuk pendidikan moral.

Dalam pandangan masyarakat Muna, ayah berperan sebagai pemimpin keluarga yang menjadi simbol otoritas, sedangkan ibu diposisikan sebagai sosok penuh kasih sayang yang meneladani sifat Nabi Muhammad. Sementara itu, kakak diibaratkan malaikat pencatat amal, dan adik disamakan dengan mukmin yang harus disayangi. Struktur relasional ini membentuk kerangka etika sosial: taat kepada orang tua, hormat kepada kakak, dan sayang kepada adik. Nilai ini menegaskan bahwa Katoba tidak hanya membicarakan hubungan vertikal manusia dengan Tuhan, tetapi juga hubungan horizontal antar manusia.

Bahasa sebagai Tindakan Ritual

Analisis wacana kritis menegaskan bahwa bahasa religius kerap memuat tindak tutur performatif, yakni ucapan yang sekaligus menciptakan realitas baru (Van Dijk, 1998, 2004). Dalam Katoba, pengucapan syahadat oleh anak bukan hanya deklarasi iman, melainkan juga perubahan status sosial-religius: dari seorang anak biasa menjadi Muslim yang dianggap dewasa secara spiritual.

Selain itu, nasihat dalam bahasa Muna berfungsi sebagai tindak tutur exhorting (menasihati), solemnizing (mengukuhkan), dan invoking (memohon berkah) (Halliday, 1994). Dengan kata lain, Katoba adalah ruang di mana bahasa menciptakan iman, moral, dan komunitas sekaligus.

Dimensi Fisik dan Metafisik

Ritual Katoba juga memperlihatkan keterpaduan dimensi fisik dan metafisik. Anak dimandikan sebagai simbol penyucian jasmani, sementara doa dan syahadat menjadi simbol penyucian ruhani. Anak mengenakan pakaian adat yang bersih, menandai transformasi statusnya. Di balik praktik fisik tersebut, tersembunyi makna metafisik: sebuah perjalanan menuju fitrah baru, bebas dari dosa, dan siap menapaki jalan kebenaran (Hodge & Kress, 1993).

Identitas Budaya dan Religius

Dalam perspektif antropologi budaya, Katoba dapat dipahami sebagai ritus peralihan (rite of passage). Ia menandai transisi seorang anak dari fase kanak-kanak menuju kedewasaan spiritual. Di dalamnya terkandung ikrar iman kepada Allah, komitmen sosial untuk menghormati keluarga, dan tekad moral untuk menjauhi kesalahan.

Katoba juga berfungsi sebagai peneguhan identitas budaya masyarakat Muna. Ia menunjukkan bahwa menjadi Muslim Muna tidak berarti melepaskan tradisi, melainkan mengharmoniskan Islam dengan kearifan lokal. Hal ini sesuai dengan gagasan Vestrucci (2019) bahwa agama dapat dipandang sebagai “bahasa” dengan tata bahasa dan leksikon unik. Dalam Katoba, “bahasa agama” Islam berpadu dengan “bahasa budaya” Muna, menghasilkan identitas religius sekaligus kultural.

Makna Kontemporer Katoba

Di era globalisasi, praktik ritual tradisional sering menghadapi tantangan. Banyak generasi muda yang lebih akrab dengan budaya populer global ketimbang tradisi leluhur. Namun, Katoba tetap relevan karena ia tidak hanya berfungsi sebagai warisan budaya, tetapi juga sebagai pendidikan moral dan religius.

Melalui Katoba, anak-anak Muna diajarkan pentingnya bertaubat, berbakti kepada orang tua, menghargai sesama, dan berpegang teguh pada ajaran Islam. Pesan-pesan ini justru sangat relevan dalam menghadapi krisis moral dan identitas di masyarakat modern. Oleh karena itu, Katoba bukan sekadar ritual lokal, melainkan aset kultural-religius yang harus terus dilestarikan.

Penutup

Katoba adalah bukti nyata bagaimana bahasa, agama, dan budaya dapat berinteraksi secara harmonis. Ia memadukan bahasa suci Islam dengan bahasa lokal Muna, menyatukan ajaran teologis dengan nilai etika sosial, serta mengikat individu dengan komunitasnya. Sebagai sebuah praktik linguistik religius, Katoba menunjukkan bahwa iman bukanlah sesuatu yang abstrak, melainkan sesuatu yang dibentuk, diinternalisasi, dan dipelihara melalui bahasa.

Dalam perspektif kajian budaya, Katoba adalah contoh bagaimana tradisi lokal tidak bertentangan dengan agama, melainkan memperkaya pengalaman religius umat. Dengan demikian, Katoba layak dilihat sebagai warisan tak ternilai, yang bukan hanya milik masyarakat Muna, tetapi juga bagian dari mozaik kebudayaan Islam Nusantara (Geertz, 1973).

Daftar Pustaka

Donovan, P. (1976). Religious Language. London: Sheldon Press.

Geertz, C. (1973). The Interpretation of Cultures. New York: Basic Books.

Halliday, M. A. K. (1994). An Introduction to Functional Grammar (2nd ed.). London: Edward Arnold.

Hodge, R., & Kress, G. (1993). Language as Ideology (2nd ed.). London: Routledge.

Rahimi, A., & Hematiyan, M. (2010). Religious discourse analysis: A critical discourse analysis of prayers in the Islamic context. Journal of Language and Translation, 1(2), 33–48.

Van Dijk, T. A. (1998). Ideology: A Multidisciplinary Approach. London: Sage.

Van Dijk, T. A. (2004). Discourse and Knowledge: A Sociocognitive Approach. Cambridge: Cambridge University Press.

Vestrucci, A. (2019). Religious language as a formal language. Religious Studies, 55(1), 1–19. https://doi.org/10.1017/S0034412517000512

:

Dr. Hadirman, M.Hum. adalah dosen dan peneliti di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Manado pada Fakultas Ushuluddin, Adab, dan Dakwah, serta mengajar di Program Studi Sosiologi Agama dan Pascasarjana. Ia menyelesaikan pendidikan sarjana di bidang Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah, melanjutkan studi magister di bidang Linguistik Umum dengan konsentrasi Linguistik Antropologi dan Linguistik Budaya, dan meraih gelar doktor di bidang Kajian Budaya di Universitas Udayana.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top